Sang Resi ini hidupnya tenang di tempat yang sepi, akrrab dengan kemiskinan bersama cantrik / siswanya. Siswanya bisa warga satu negara dan juga warga lain negara. Dalam tugasnya mengajar dapat dikatakan tidak menjumpai berbagai kendala sepertinya layaknya guru di negeri kita ini. Tutur kata dan sikap perilakunya memang bisa ditauladani.
Di dunia nyata ini sosok guru nampaknya tidak jauh berbeda dengan guru dalam dunia wayang yang segenap cirinya adalah penuh pengabdian, mengembangkan cakrawala pemikiran generasi siswanya, secara ekonomi tidak dilandasi pamrih yang besar, hidupnya scderhana dan sebagai tumpuan masyarakat dalam memilih sosok panutan. Maka tepatlah jika guru diberi gelar pahlawan walaupun tanpa harus memikul tanda jasa.
Di mana pun adanya guru adalah garda pelopor kemajuan bangsa. Tokoh pejuang bangsa banyak berasal dari guru. Presiden Soekarno, Ki Had.jar Dewantara, Buya Hamka, Panglima Besar Jendral Soedirman, Dewi Sartika dan masih banyak lagi pejuang bangsa dari seorang guru. Mereka bekerja dengan ikhlas walau pun kondisi ekonomi sangat terbatas.
Nampaknya kondisi ekonomi yang sangat terbatas itu sampai sekarang menjadi sumber permasalahan bagi guru. Memang sekarang sudah ada sedikit peningkatan, namun apabila dibandingkan dengan profesi lain masih tetap menduduki ranking terbawah. Padahal tuntutan bagi guru masa kini semakin terasa berat. Di samping harus dapat mengadaptasi keadaan, penguasaan materi dan dedikasi harus ditingkatkan.
Dunia yang sarat informasi baru (ilmu, teknologi dan budaya) memaksa guru harus mcnipelajarinya. Guru masa kini sangatlah berbeda dengan guru masa lalu. Sekarang siswa lebili banyak menerima informasi baru dari tv, pergaulan, radio. internet, dan berbagai media masa. Hal demikian ini bukan sesuatu yang aneh karena mereka adalah anak orang berduit yang sanggup memenuhi berbagai kebutuhan sekunder maupun kebutuhan mewahnya.
Bagaimana keadaan gurunya? Jangankan internet, komputer dan media masa, untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga, cukup saja sudah lumayan. Monotonitas kondisi guru ini selamanya tidak akan menarik bagi generasi yang tergolong pandai, lebih-lebih yang mampu sceara ekonomi. Akibatnya LPTK yang memproduksi guru dipenuhi dari orang yang tergolong ekonomi menengah dan bukanlah orang-orang pandai atau .genius. Sehingga wajar jika calon guru diremehkan oleh orang-orang universitas yang beranggapan leblh unggul dalam kemampuan akademiknya serta mempunyai masa depan yang lebih menjanjikan.
Setelah menjadi guru mereka pun dituntut mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat ini. Yakni dengan mengandalkan kerja yang profesional agar dihasilkan sumber daya manusia ( peserta didik ) berkualitas sebagainlana diamanatkan oleh ( GBHN ). Ini bcrarti guru dituntut meningkatkan kualitasnya sebagai tenaga profesional. Dengan derasnya arus pengetahuan menuntut guru harus selalu siap mensiasatinya. Kondisi demikian inilah memerlukan kesiapan sumber daya manusia khususnya guru.
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
PGRI adalah organisasi massa dari tenaga kependidikan yang anggotanya terbuka untuk para guru SD, SMP SLTA dan para dosen. Namun kenyataannya PGRI beranggotakan guru-guru SD sebagai pemegang proporsi paling dominasi. Sedangkan guru SMP dan SMA kurang tergiur untuk menjadi anggota, terlebih para dosen.
Sebagai induk organisasi profesi guru, PGRI mempunyai tanggung jawab untuk melindungi, mengayomi, membina dan memotivasi anggotanya agar mcningkatkan muu wawasan dan kinerjanya. Di era globalisasi ini PGRI dituntut mampu memapankan hingsinya secara profesional. Keprofesionalan PGRI merupakan sarana mutlak dalam niengupayakan peningkatan mutu dan proflesi para anggotanya. Adalah hal yang lucu jika digembor-gemborkan agar kualitas guru (anggota PGRI) ditingkatkan, sementara ( pengurus ) PGRI sendiri tidak memberi) contoh meningkatkan keprollesionalannya.
Tak terbilang.jumlahnya, pakar yang menyatakan salah satu ciri profesi yang profesional adalah dimilikinya organisasi profesi yang melindungi kepentingan angotanya dan meyakinkan para anggota agar menyelenggarakan layanan keahlian terbaiknya. Pertanyaan yang muncul sekarang, sudahkah PGRI sebagai organisasi profesi berfungsi seperti itu ?
FENOMENA
Sehubungan dengan strategisnya posisi PGRI sebagai pewarna corak masa depan bangsa maka sewajarnyalah jika penataan (pengurus dan program), keluasan peranan dan kewenangannya ditinjau kembali sehingga PGRI diharapkan berlungsi banyak bagi kemajuan organisasi.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mencapai peranan PGRI yang ideal. Hal ini tidak bisa dicapai dengan membaca sim salabim ala kedabra namun harus diupayakan sedemikian rupa menyangkut kepedulian penierintah, cendekiawan, kesiapan anggota serta dedikasi yang tinggi pengurus PGRI.
Mcngapa usia PGRI yang sudah lebih dari setengah abad ini belum mampu menampakkan sebagai organisasi profesi ? Jawabnya cukup konipleks. Artinya banyak hal yang saling mempengaruhi sekaligus menjadi kendala bagi tercapainya profesionalisme organisasi. Ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan, hal yang terpaksa harus terjadi. Harapan anggota memang muluk dan idealis namun kenyataan di lapangan hanyak hal yang tidak mendukungnya :
Pertama, Profesionalisasi pengurus PGRI. Karena anggota PGRI didominasi guru-guru SD, kcpala-kepala SD sedikit guru-guru SMP dan SITA yang biasanya sudah lama menjadi pegawai maka tidak mengherankan jika pengurusnya memegang konsep “top down” / dari atas ke bawah. Akibatnya kebijakan yang ada tidak mencerminkan kehendak anggota secara luas. Hal ini sangat dirasakan oleh anggota.
Kedua, sumber dana. Siapa pun percaya bahwa dana merupakan sarana penunjang yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan program. PGRI bukanlah BUMN sehingga bcrbicara masalah dana sering menjadi kendala perkembangan PGRI. Dampaknya sering menyunati gaji ji guru (anggota PGRI) dengan sejuta alasan. Kebijakan yang sangat disayangkan mengingat tujuan PGRI ingin menyejahterakan anggota. bukan sebaliknya selalu menjadi pcnjagal gaji guru. Bukankah hal ini menjadi fenomena bagi para anggota PGRI ?
Ketiga, perlunya badan penelitian dan pengembangan (research and development ) Belum adanya badan ini menyebabkan sikap PGRI masih jauh dari harapan. PGRI tak berbuat banyak terhadap masalah-masalah yang seharusnya menjadi garapannya. Misalnya maraknya estasy para pelajar, pergaulan bebas antara siswa-siswi, tawuran antar kelompok pelajar dan menipisnya moralitas pelajar. Siapa yang akan peduli terhadap masalah- masalah tersebut jika bukan guru dan organisasi PGRI?
Keempat, PGRI belum dapat mewujudkan sebagai organisasi profesi. Ciri khas organisasi profesi adalah adanya pengembangan prolesi bagi anggota-anggotanya di bawah bimbingan, binaan dan sentuhan pengurus organisasi tersebut. Selama ini kegiatan yang dilakukan sama sekali tidak menyentuh pengembangan profesi guru seperti penelitian, karya tulis, kajian suatu masalah dan lain-lain. Sama sekali PGRI belum menyinggung itu.
Dengan menengok fenomena di atas agaknya langkah pertama yang perlu diambil pemerintah adalah menempatkan anggaran pendidikan pada posisi optimal. Peningkatan anggaran ini dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas guru serta subsidi PGRI.
Langkah kedua mendudukkan guru dan kepala sekolah yang profesional ke dalam pengurus inti PGRI. Pengurus yang cakap akan mcngambil keputusan yang mencerminkan keinginan para anggota. Rasa gengsi pengurus PGRI hendaknya dibuang jauh-jauh sehingga adanya regenerasi kepengurusan diwujudkan tanpa memandang usia maupun lama kerja calon pengurus. Harapan anggota PGRI hendaknya lebih adaptif dan aspiratif.
Langkah ketiga, perlu adanya badan penelitian dan pengembangan sebagai ciri khas organisasi profesi. Sehingga hal-hal yang melingkari keburaman dunia pendidikan akan terangkat dalam pembahasan yang dapat dicari solusinya.
Dengan bertitik tolak itulah eksistensi PGRI akan tampak sebagai organisasi profesi yang menjadi dambaan para anggota. Jika PGRI tak dapat mengadaptasi terhadap aspirasi para anggota jangan harap tumbuh kepercayaan guru-guru terhadap keberadaan PGRI. Jika hal demikian itu terwujud maka berkembanglah isu masyarakat yang mengatakan bahwa ada / tidak adanya PGRI dianggap sama. Kenyataan ini menjadi tantangan PGRI dalam menghadapi masyarakat yang demokratif, berani mengkritik, melek hukum, dan berwawasan ke depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar