Senin, 09 April 2012

CALON ISTRI YANG BAIK MENURUT TEORY

1. Taat beragama
2. Dari Lingkungan yang baik
3. Perawan
4. Penyabar
5. Memikat hati
6. Amanah
7. Tidak bersolek bila keluar rumah
8. Kufu’ dalam beragama
9. Tidak materialistis
10.Senang menyambung ikatan kerabat
11.Pandai menyimpan rahasia
12.Subur
13.Tabah menderita
14.Bukan pencemburu buta
15.Perangai dan kata-katanya menyenangkan
16.Mudah di lamar
17.Besar cintanya
18.Patuh dan taat
19.Hemat
20.Besar kasih sayang nya kepada anak kecil

Kamis, 05 April 2012

Guru, PGRI dan Segenap Fenomenanya masa sekarang


Guru merupakan sosok manusia yang bisa digugu dan ditiru. Itu kirata basa yang sering terdengar di telinga kita. Pada dunia pewayangan guru adalah tokoh yang sangat ideal dan mumpuni dalam berbagai hal baik pengetahuan (ilmu), sikap perilaku yang bisa ditauladani serta hidupnya secara sederhana yang tidak materialistik. Sebutan untuk guru dalam pewayangan adalah ‘Sang Resi’, atau ‘Sang Begawan’dan adakalanya disebut’ Sang Pandita’
Sang Resi ini hidupnya tenang di tempat yang sepi, akrrab dengan kemiskinan bersama cantrik / siswanya. Siswanya bisa warga satu negara dan juga warga lain negara. Dalam tugasnya mengajar dapat dikatakan tidak men­jumpai berbagai kendala sepertinya layaknya guru di negeri kita ini. Tutur kata dan sikap perilakunya memang bisa ditauladani.
Di dunia nyata ini sosok guru nampaknya tidak jauh berbeda dengan guru dalam dunia wayang yang sege­nap cirinya adalah penuh pengabdian, mengembangkan cakrawala pemikiran generasi siswanya, secara ekonomi tidak dilandasi pamrih yang besar, hidupnya scderhana dan sebagai tumpuan masyarakat dalam memilih sosok panutan. Maka tepatlah  jika guru diberi gelar pahlawan walaupun tanpa harus memikul tanda jasa.
Di mana pun adanya guru adalah garda pelopor kemajuan  bangsa. Tokoh pejuang bangsa banyak berasal dari guru. Presiden Soekarno, Ki Had.jar De­wantara, Buya Hamka, Panglima Besar Jendral Soedirman, Dewi Sartika dan masih banyak lagi  pejuang bangsa dari seorang guru. Mereka bekerja dengan ikhlas walau pun kondisi ekonomi sangat terbatas.
Nampaknya kondisi ekonomi yang sangat terbatas itu sampai sekarang menjadi sumber permasalahan bagi guru. Memang sekarang sudah ada sedikit peningkatan, namun apabila dibandingkan dengan profesi lain masih tetap menduduki ranking terba­wah. Padahal tuntutan bagi guru masa kini semakin terasa berat. Di samping harus dapat mengadaptasi keadaan, penguasaan materi dan dedikasi harus ditingkatkan.
Dunia yang sarat informasi baru (ilmu, teknologi dan budaya) memaksa guru harus mcnipelajarinya. Guru masa kini sangatlah berbeda dengan guru masa lalu. Sekarang siswa lebili banyak menerima informasi baru dari tv, pergaulan, radio. internet, dan berbagai media masa. Hal demikian ini bukan sesuatu yang aneh karena mereka adalah anak orang berduit yang sanggup memenuhi berbagai kebu­tuhan sekunder maupun kebutuhan mewahnya.
Bagaimana keadaan gurunya? Jangankan internet, komputer dan media masa, untuk memenuhi kebu­tuhan pokok keluarga, cukup saja sudah lumayan. Monotonitas kondisi guru ini selamanya tidak akan menarik bagi generasi yang tergolong pandai, lebih-lebih yang mampu sceara eko­nomi. Akibatnya LPTK yang mempro­duksi guru dipenuhi dari orang yang tergolong ekonomi menengah dan bukanlah orang-orang pandai atau .genius. Sehingga wajar jika calon guru  diremehkan oleh orang-orang univer­sitas yang beranggapan leblh unggul dalam kemampuan akademiknya serta mempunyai masa depan yang lebih menjanjikan.
Setelah menjadi guru mereka pun dituntut mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat ini. Yakni dengan mengandalkan kerja yang profesional agar dihasilkan sumber daya manusia ( peserta didik ) berkualitas sebagainlana diamanatkan oleh ( GBHN ). Ini bcrarti guru dituntut meningkatkan kualitasnya sebagai tenaga profesional. Dengan derasnya arus pengetahuan menuntut guru harus selalu siap mensiasatinya. Kondisi demikian inilah memerlukan kesiapan sumber daya manusia khususnya guru.
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
PGRI adalah organisasi massa dari tenaga kependidikan yang anggotanya terbuka untuk para guru SD, SMP SLTA dan para dosen. Namun kenya­taannya PGRI beranggotakan guru-guru SD sebagai pemegang proporsi paling dominasi. Sedangkan guru SMP dan SMA kurang tergiur untuk menjadi anggota, terlebih para dosen.
Sebagai induk organisasi profesi guru, PGRI mempunyai tanggung jawab untuk melindungi, mengayomi, membina dan memotivasi anggotanya agar mcningkatkan muu wawasan dan kinerjanya. Di era globalisasi ini PGRI dituntut mampu memapankan hingsinya secara profesional. Kepro­fesionalan PGRI merupakan sarana mutlak dalam niengupayakan pening­katan mutu dan proflesi para anggo­tanya. Adalah hal yang lucu jika digembor-gemborkan agar kualitas guru (anggota PGRI) ditingkatkan, sementara ( pengurus ) PGRI sendiri tidak memberi) contoh meningkatkan keprollesionalannya.
Tak terbilang.jumlahnya, pakar yang menyatakan salah satu ciri profesi yang profesional adalah dimilikinya orga­nisasi profesi yang melindungi kepen­tingan angotanya dan meyakinkan para anggota agar menyelenggarakan layanan keahlian terbaiknya. Perta­nyaan yang muncul sekarang, sudah­kah PGRI sebagai organisasi profesi berfungsi seperti itu ?
FENOMENA
Sehubungan dengan strategisnya posisi PGRI sebagai pewarna corak masa depan bangsa maka sewajar­nyalah jika penataan (pengurus dan program), keluasan peranan dan kewenangannya ditinjau kembali sehingga PGRI diharapkan berlungsi banyak bagi kemajuan organisasi.
Memang tidak semudah memba­likkan telapak tangan untuk mencapai peranan PGRI yang ideal. Hal ini tidak bisa dicapai dengan membaca sim salabim ala kedabra namun harus diupayakan sedemikian rupa menyangkut kepedulian penierintah, cendekiawan, kesiapan anggota serta dedikasi yang tinggi pengurus PGRI.
Mcngapa usia PGRI yang sudah lebih dari setengah abad ini belum mampu menampakkan sebagai orga­nisasi profesi ? Jawabnya cukup konipleks. Artinya banyak hal yang saling mempengaruhi sekaligus menjadi kendala bagi tercapainya profesi­onalisme organisasi. Ketidakseim­bangan antara harapan dan kenyataan, hal yang terpaksa harus terjadi. Harapan anggota memang  muluk dan idealis namun kenyataan di lapangan hanyak hal yang tidak mendukungnya :
Pertama, Profesionalisasi pengurus PGRI.  Karena anggota PGRI dido­minasi guru-guru SD, kcpala-kepala SD sedikit guru-guru SMP dan SITA yang biasanya sudah lama menjadi pegawai maka tidak mengherankan jika pengurusnya memegang konsep “top down” / dari atas ke bawah. Akibatnya kebijakan yang ada tidak mencerminkan kehendak anggota secara luas. Hal ini sangat dirasakan oleh anggota.
Kedua, sumber dana. Siapa pun percaya bahwa dana merupakan sarana penunjang yang sangat berpe­ngaruh terhadap kelancaran pelak­sanaan program. PGRI bukanlah BUMN sehingga bcrbicara masalah dana sering menjadi kendala perkembangan PGRI. Dampaknya sering menyunati gaji ji guru (anggota PGRI) dengan sejuta alasan. Kebijakan yang sangat disayangkan mengingat tujuan PGRI ingin menyejahterakan anggota. bukan sebaliknya selalu menjadi pcnjagal gaji guru. Bukankah hal ini menjadi fenomena bagi para anggota PGRI ?
Ketiga, perlunya badan penelitian dan pengembangan (research and development ) Belum adanya badan ini menyebabkan sikap PGRI masih jauh dari harapan. PGRI tak berbuat banyak terhadap masalah-masalah yang seharusnya menjadi garapannya. Misalnya maraknya estasy para pelajar, pergaulan bebas antara siswa­-siswi, tawuran antar kelompok pelajar dan menipisnya moralitas pelajar. Siapa yang akan peduli terhadap masalah­- masalah tersebut  jika bukan guru dan organisasi PGRI?
Keempat, PGRI belum dapat mewujudkan sebagai organisasi pro­fesi. Ciri khas organisasi profesi adalah adanya pengembangan prolesi bagi anggota-anggotanya di bawah bim­bingan, binaan dan sentuhan pengurus organisasi tersebut. Selama ini kegiatan yang dilakukan sama sekali tidak menyentuh pengembangan profesi guru seperti penelitian, karya tulis, kajian suatu masalah dan lain-lain. Sama sekali PGRI belum menyinggung itu.
Dengan menengok fenomena di atas agaknya langkah pertama yang perlu diambil pemerintah adalah menempatkan anggaran pendidikan pada posisi optimal. Peningkatan anggaran ini dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas guru serta subsidi PGRI.
Langkah kedua mendudukkan guru dan kepala sekolah yang profesional ke dalam pengurus inti PGRI. Pengu­rus yang cakap akan mcngambil keputusan yang mencerminkan kei­nginan para anggota. Rasa gengsi pengurus PGRI hendaknya dibuang jauh-jauh sehingga adanya regenerasi kepengurusan diwujudkan tanpa memandang usia maupun lama kerja calon pengurus. Harapan anggota PGRI hendaknya lebih adaptif dan aspiratif.
Langkah ketiga, perlu adanya badan penelitian dan pengembangan sebagai ciri khas organisasi profesi. Sehingga hal-hal yang melingkari keburaman dunia pendidikan akan terangkat dalam pembahasan yang dapat dicari solusinya.
Dengan bertitik tolak itulah eksis­tensi PGRI akan tampak sebagai organisasi profesi yang menjadi dambaan para anggota. Jika PGRI tak dapat mengadaptasi terhadap aspirasi para anggota jangan harap tumbuh kepercayaan guru-guru terhadap keberadaan PGRI. Jika hal demikian itu terwujud maka berkembanglah isu masyarakat yang mengatakan bahwa ada / tidak adanya PGRI dianggap sama. Kenyataan ini menjadi tan­tangan PGRI dalam menghadapi masyarakat yang demokratif, berani mengkritik, melek hukum, dan berwa­wasan ke depan

Sejarah PGRI Masa Orde Lama

A. GERAKAN GURU PADA MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN
Pada zaman Belanda, terdapat bermacam – macam sekolah yang diperuntukkan bagi golongan tertentu. Guru – gurunya adalah tamatan bermacam sekolah guru, antara lain Sekolah Guru Desa, Kweekschool (KS), dll. Perbedaan dalam penggajian dan kedudukan tidak jarang menimbulkan pertentangan antar golongan. Pemerintah Belanda secara sistematis sengaja menciptakan golongan tinggi dan golongan rendah.
Para guru lulusan berbagai jenis sekolah yang ada pada masa itu berusaha memperjuangkan nasibnya. Pada tahun 1908 lahirlah Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel in Nederlands Indie (VSVT), organisasi tersebut bergerak untuk menuntut perbaikan nasib dan kedudukan yang wajar dan adil.
Mulai tahun 1907, terjadi perkembangan penting pada kelas tinggi Eerste-Inlandse School (EIS) yaitu diberikannya pelajaran bahasa Belanda. Setelah 7 tahun, EIS kemudian berubah menjadi Hollands-Inlandse School (HIS). Arti penting dari perubahan ini adalah supaya terbuka kesempatan bagi putra – putrid Indonesia untuk memasuki pintu gerbang ilmu pengetahuan umum, ilmu politik, ilmu sosial, sejarah, dan sebagainya.
Sejarah organisasi perjuangan guru pada zaman Belanda dimulai pada tahun 1912 dengan berdirinya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang diketuai Karto Soebroto yang bersifat unitaristik. Kondisi sosial politik pada waktu itu mempersulit terciptanya kesatuan bahasa dalam perjuangan guru. PGHB yang berbentuk union tersebut akhirnya pecah dan mereka masing – masing anggota berjuang sesuai program kerjanya, terutama memperjuangkan perbaikan gaji. Pada tahun 1919 terbentuk gerakan – gerakan baru, PGB, PNS, KSB dan SOB.
Pada tahun 1932, PGHB diganti menadi PGI (Persatuan Guru Indonesia). Pada tahun 1930-an terdapat Perserikatan Volkbonden Pegawai Negeri (PVPN). Pada Desember 1939, jumlah seluruh anggota PVPN sebanyak 41.521 orang.
Perang Dunia II pecah tahun 1939. Negei Belanda diduduki oleh tentara Jepang. Pada zaman Jepang, keadaan sama sekali berubah. Segala organisasi dilarang, segala kegiatan pendidikan dan politik membeku. Menjelang jepang takluk pada tenyara Sekutu, sekolah mulai dibuka kembali.
B.  LAHIRNYA PGRI TANGGAL 25 NOVEMBER 1945
Proklamasi merupakan jembatan emas setelah bangsa Indonesia melewati perjuangan fisik untuk kemudian mulai membangun Indonesia yang baru, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Semangat proklamasi itulah yang menjiwai penyelenggaraan Kongres Pendidik Bangsa pada tanggal 24 – 25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Puteri (SGP) Surakarta. Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Pendiri PGRI antara lain Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng Soegianto, Soemidi Ajisasmito, Abdullah Noerbambang, dan Soetono. Mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan 3 tujuan; a.) mempertanamkan dan menyempurnakan Republik Indonesia; b.) mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaransesuai dasar – dasar kerakyatan; c.) membela hak dan nasib para buruh umumnya dan khususnya para guru.
PGRI lahir sebagai “anak sulung” dari Proklamasi Kemerdekaan yang memiliki  sifat dan semangat seperti “ibu kandungnya”, yaitu semangat persatuan dan kesatuan, pengorbanan dan kepahlawanan untuk menentang penjajah. PGRI merupakan organisasi pelopor dan pejuang. Sementara itu tujuan kedua adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Tujuan yang ketiga sebagai wahana meningkatkan perjuangan untuk perbaikan nasib anggotanya.
Pada tanggal 24 – 25 November 1945 diadakan Kongres Guru Indonesia di Surakarta. Di dalam kongres tersebut , terdapat pengurus – pengururs sebagai berikut :
Ketua                      : Tn. Amin Singgih
Wakil Ketua           : 1. Tn. Koesnan
                                2. Tn. Soekitro
Penulis                    : 1. Tn. Djajengsoegito
                                 2. Tn. Alimarsaban
Bendahara              : 1. Tn. Soemidi Adisasmita
                                 2. Tn. Siswowidjojo
Anggota                  : 1. Nona Siti Wahjoenah
2. Tn. Martosoedigdo
3. Tn. Reksosoebroto (Siswowardodjo)
4. Tn. Parmoedjo
C.  PGRI PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN
Cita – cita PGRI sejalan dengan cita – cita bangsa Indonesia secara keseluruhan. Para guru menginginkan kebebasan dan kemerdekaan, memacu kecerdasan bangsa dan membela serta memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. Pada tanggal 23 – 24 November 1946 diaadakan Kongres PGRI di Surakarta. PGRI mengajukan 3 tuntutan kepada pemerintah, yaitu mengenai Undang – undang Pokok Pendidikan dan Perburuhan, Sistem Pendidikan, dan Gaji guru. Tuntutan tersebut mendapat perhatian dari pemerintah.
Kemudian pada tanggal 27 – 29 Februari 1948 diadakan Kongres III PGRI di Madiun. Kongres ini memutuskan bahwa untuk menigkatkan efektivitas organisasi, ditempuh jalan dengan memekarkan cabang – cabang yang tadinya setiap keresidenan memiliki satu cabang menjadi cabang yang lebih kecil. Untuk membantu tugas pengurus besar dibentuklah komisariat daerah pada setiap keresidenan.
PGRI memiliki haluan dan sifat perjuangan yang jelas, yaitu mempertahankan NKRI, meningkatkan pendidikan dan pengajaran nasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, dan tidak bergerak dalam lapangan politik (non-partai politik).
D. PGRI PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
  1. Kongres IV PGRI di Yogyakarta : 26 – 28 Februari 1950
Menurut catatan, Kongres IV mewakili 15.000 anggota dari 76 cabang. Guru – guru yang bernaung dibawah panji – panji PGRI secara aklamasi mengambil keputusan untuk mempersatukan semua guru di seluruh tanah air dalam satu organisasi kesatuan yaitu PGRI.
PB PGRI segera melakukan kontak dengan tokoh – tokoh guru di Medan, Banjarmasin, Makassar dan Denpasar. Selain mengirim “Maklumat Persatuan”, dikirimkan juga seluruh keputusan Kongres IV dan AD/ART kepada para utusan yang menghadiri Kongres tersebut. Mereka ditugaskan supaya secepatnya memberikan laporan ke Jakarta dan Yogyakarta tentang tanggapan para guru terhadap “Maklumat Persatuan” serta perkembangan selanjutnya.
Pada akhir Februari 1950, sebanyak 30 cabang SGI di seluruh Negara Pasudan menyatakan memisahkan diri dari SGI kemudian masuk PGRI.
  1. Kongres V PGRI di Bandung : 19 – 24 Desember 1950
Kongres ini secara keseluruhan melibatkan 202 cabang dari 301 cabang PGRI yang ada. Dalam kongres ini dibicarakan masalah yang prinsipil dan fundamental, yaitu mengenai asa organisasi yang akhirnya Pancasila ditetapkan sebagai asas organisasi.
Hasil nyata dari konsolidsi ialah masuknya 47 cabang di Sulawesi dan Kalimantan ke dalam barisan PGRI, sedangkan sebanyak 2.500 guru yang sedianya akan di gaji berbeda – beda menurut ketentuan swapraja/swatantra dapat tertolong dan digaji dengan mengikuti standar yang seragam dari pusat.
  1. Kongres VI PGRI di Malang : 24 – 30 November 1952
Kongres ini menyepakati beberapa keputusan penting. Dalam bidang pendidikan disetujui agar sistem pengajaran diselaraskan dengan kebutuhan negara pada masa pembangunan, KPKPKB dihapuskan pada akhir tahun pelajaran 1952/1953, KPKB ditiadakan atau dirubah menjadi SR 6 tahun, kursus B-1/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur sebaik-baiknya, diadakan Hari Pendidikan Nasional.
Dalam kongres ini disahkan pula “Mars PGRI” ciptaan Basoeki Endopranoto. Dalam melaksanakan keputusan kongres VI, agenda yang dirasakan paling berat oleh PB PGRI adalah memperjuangkan anggaran Kementrian PP & K hingga mencapai 25% dari seluruh anggaran pemerintah.
Dalam bidang organisasi, konsolidasi terus dilakukan dengan meneliti dan mengambil tindakan terhadap cabang-cabang PGRI yang tidak menegnai ketentuan-ketentuan organisasi. Sebagai tindak lanjut dari resolusi Kongres VI di Malang mengenai pendidikan nasional, PB PGRI membentuk Panitia Konsepsi Pendidikan Nasional. Dalam bidang perburuhan dari keputusan yang diperjuangkan banyak diantaranya yang tercapai, antara lain; uang jalan PS/PSK meningkat 3 kali lipat, adanya pedoman pengangkatan bagi guru, tunjangan bagi pemangku jabatan, tunjangan hari raya sebesar 25% dari pendapatan bersih per bulan, tunjangan bagi guru-guru yang berada di daerah.
  1. Kongres VII PGRI di Semarang : 24 Nov. s/d 1 Des. 1954
Hasil kongres ini antara lain, Bidang Umum; pernyatan mengenai irian barat, resolusi mengenai desentralisasi sekolah. Bidang pendidikan antara lain; resolusi mengenai anggaran belanja PP & K, resolusi mengenai UU Sekolah Rakyat dan UU Kewajiban Belajar. Bidang perburuhan antara lain; tunjangan khusus bagi pegawai yang bertugas didaerah yang tidak aman, guru SR dinyatakan sebagai pegawai tetap. Dalam bidang organisasi keputusan yang sangat penting adalah pernyataan PGRI untuk keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisai “Non-vaksentral”. Dalam kongres ini dibicarakan pula masalah pendidikan agama.
  1. Kongres VIII PGRI di Bandung : (1956)
Kongres ini dihadiri oleh hampir seluruh cabang PGRI di Indonesia. Jumlah anggota PGRI meningkat menjadi 107.032 orang, tersebar di 511 cabang seluruh Indonesia. Mengenai sistem pendidikan yang masih mengandung unsur-unsur pendidikan kolonial, PGRI terus mendesak pemerintah untuk segera mengubahnya sehingga lebih bersifat nasional. PGRI juga mengusulkan kepada pemerintah untuk agar lebih memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan murid dan guru.
Mengenai Hari Pendidikan, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, sementara itu tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden tahun 1994.
PGRI selalu berusaha memperjuangkan kepastian karier guru. Kongres VII PGRI mendesak pemerintah untuk membentuk Pnitia Amandemen PGPN. Tidak lama setelah kongres berakhir, pemerintah membentuk panitia dimaksud yang diberi waktu satu tahun untuk menyelesaikan tugasnya. Usul-usul PGRI untuk memperbaiki PGPN hampir seluruhnya diterima oleh panitia tersebut.
E.  PGRI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
  1. Lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI
Periode tahun 1962-1965 terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dari periode-periode sebelumnya. Pada bulan-bulan pertama PGRI mengalami kesulitan besar terutama karena kekurangan dana. Meskipun demikian, kegiatan PGRI tetap berjalan dalam upaya memperjuangkan nasib para guru. Masalah dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN ke dalam SOKSI yang diputuskan dengan 12 suara pro lawan 2 suara kontra pada hakekatnya tidak mengubah kekompakan dilingkungan PB PGRI.
Suasana tegang benar-benar terasa setelah PB PGRI ikut serta dalam Musyawarah Penegasan Pancasila sebgai Dasar Pendidikan Nasional. Setelah PGRI ikut serta dalamMusyawarah Penegasan Pancasila tersebut, Moejono dan Ichwani mengajukan nota pengunduran diri.
Kemudian kelompok soebandri-Moejono-Ichwani menyelenggarakan rapat, karena bila terlambat mereka tidak bisa lagi mempergunakan dalih Non-Vaksentral sebagai sejata propaganda mereka. Selain melalui PGRI penyusupan mereka dilakukan pula terhadap aparatur pendidikan, terutama di lingkungan departemen P & K.
  1. Pemecatan Massal Pejabat Departemen PP & K (1964)
Sistem pendidikan Pancawardhana (pidato inaugurasi Dr. Busono Wiwoho) dilandasi dengan prinsip-prinsip: perkembangan cinta bangsa dan tanah air, perkembangan kecerdasan, perkembangan emosional-artistik, perkembangan keprigelan/kerajinan tangan, dan perkembangan jasmani.
Isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik. Keputusan Presiden tanggal 4 agustus 1964 yang diambil atas usul Menteri P & K tentang Reorganisasi Departemen P & K yang mengubah jumlah Pembantu Menteri P & K dari 3 menjadi 2 orang. Maka sebanyak 28 pegawai tinggi Departemen P & K mengirim surat kepada Menteri Prijono dengan maksud untuk menjernihkan kebali suasana P & K. Surat itu ditanggapi dengan memberhentikan ke-27 pejabat tersebut dengan alasan “atas dasar permintaan sendiri”. Berbagai ormas dan beberapa wakil dari Dinas P & K memprotes keras pemberhentian tersebut.
  1. PGRI Pasca Peristiwa G30S/PKI
Bagi PGRI, periode tahun 1966-1972 merupakan masa perjuangan untuk turut menegakkan Orde Baru, masa konsolidasi dan penataan kembali organisasi serta masa meneruskan dan menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola pembangunan nasional yang baru. Kegiatan dan perjuangan PGRI dalam bidang pendidikan semenjak Kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung mulai dibina kembali. Identitas PGRI sendiri bersifat unitaristik, independen, dan non-partai politik. Mengenai kedudukan PGRI sendiri sejak Kongres VII ditegaskan bahwa PGRI adalah organisasi non-vaksentral
Perjalanan PGRI dipengaruhi oleh berbagai kepentingan golongan politik dari luar. Dalam setiap kongres, terutama saat pemilihan pimpinan PB PGRI, banyak partai politik ikut campur. Hal ini memang tidak dapat dihindarkan dan sangat menyulitkan kedudukan PGRI.
  1. Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI
Setelah PKI yang diwakili oleh guru-guru berorientasi ideologi komunis tak mampu lagi mealkukan taktik – taktik penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dengan melakukan usaha terang-terangan untuk memisahkan diri dari PGRI. Mereka kemudian menyebut dirinya PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV).
Pergolakan hebat yang ditimbulkan oleh munculnya PGRI NV terasa benar didaerah. Untuk menyelamatkan pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan dikalangan guru, Presiden Soekarno turun tangan dengan membentuk Majelis Pendidikan Nasional yang menerbitkan Penpres (Penetapan Presiden) No. 19 tahun 1965 tentang Pokok – pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila sebagai hasil kerja dari Panitia Negara untuk Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana. Tetapi bagi PGRI penpres tersebut tidak berhasil mempersatukan kembali organisasi ini.
  1. PGRI SEJAK LAHIRNYA ORDE BARU
  2. Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)
Peristiwa G30S/PKI merupakan puncak dari apa yang sebelumnya berlangsung ditubuh PGRI. Pada tanggal 2 Februari 1966 para guru membentuk KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia). Bagi PGRI-Kongres, KAGI merupakan wahana untuk menyatukan semua organisasi guru yang tadinya terkotak-kotak sebagai produk politik Orde Lama.
Tugas utama KAGI adalah membersihkan dunia pendidikan dari unsure-unsur PKI dan orde lama, menyatukan semua guru dalam satu wadah organisasi guru yaitu PGRI, memperjuangkan agar PGRI tidak hanya bersifat unitaristik tetapi juga independen dan non-partai politik.
Bukti keberhasilan Orde Baru dalam kongres ini terlihat dari hasil-hasil kongres idbidang umum/politik dan susuna PB PGRI Masa Bakti XI.
  1. Konsolidasi Organisasi pada Awal Orde Baru
Konsolidasi organisasi PGRI dilakukan ke daerah-daerah dan cabang-cabang. Kunjungan-kunjungan PB PGRI secara intensif ke Jawa Tengah dan Jawa TImur mutlak diperlukan. Pembetukan KAGI di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara lain untuk menyelamatkan PGRI dari kemelut politik diwaktu itu.
Hubungan antara PGRI dengan organisasi guru diluar negeri mulai dirintis kembali.
  1. Arti Lambang PGRI
Kongres XIII PGRI tahun 1973 menetapkan perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang organisasi, yaitu berubahnya sifat PGRI dari organisasi serikat pekerja menjadi organisasi profesi guru; ditetapkannya kode etik guru di Indonesia; perubahan lambag dan panji organisasi PGRI yang sesuai dengan organisasi profesi guru; dan adanya Dewan Pembina PGRI.
Arti keseluruhan daripada lambang PGRI adalah: Guru Indonesia dengan itikad dan kesadaran pengabdian yang murni dengan segala keberanian, keluhuran jiwa dan kasih sayang senantiasa menunaikan darma baktinya kepada Negara, tanah air dan bangsa Indonesia dalam mendidik budi pekerti, cipta, rasa, karsa dan karya generasi bangsa menjadi manusia Pancasila yang memiliki moral, pengetahuan, ketrampilan dan akhlak yang tinggi.
  1. Berdirinya YPLP-PGRI dan Wisma Guru
Kongres XIV PGRI tanggal 26-30 Juni 1979 di Jakarta menghasilkan salah satu keputusan penting yaitu mengenai pendirian Wisma Guru. Dan dalam kongres tersebut juga diputuskan dan ditegaskan bahwa pembinaan lembaga pendidikan PGRI perlu dilakukan secara konsepsional, nasional dan terkendali secara organisatoris.
Untuk melaksanakan keputusan kongres, PB PGRI membentuk YPLP-PGRI dengan notaris Akta Moh. Ali No. 21 tanggal 31 Maret 1980 yang berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1980. Pada tahap awal pelaksanaan tugasnya, YPLP-PGRI megadakan inventarisasi terhadap lembaga pendidikan PGRI.
G.  REFLEKSI TENTANG MASA DEPAN PGRI
Banyak kemungkinan arah PGRI 30 tahun mendatang, salah satu kemungkinannya adalah dengan menggunakan beberapa kategori pendekatan.
  1. Kategori fundamental, yaitu sebagai organisasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dan GBHNnya.
  2. Kategori teknis. Salah satu diantaranya adalah dengan mengembangkan dan mendorong proses-proses perubahan yang sistematis dalam tubuh PGRI
  3. Kategori terapan.
Berdasarkan pengamatan bertahun-tahun, tampak jelas bahwa PGRI seperti halnya organisasi yang lainnya mempunyai pengalaman yang penting dalam rangka menyukseskan strategi yang bersifat kuantitatif. Dalam rangka melaksanakan strategi kualitatif, PGRI perlu mengadakan investasi secara bekelanjutan. Ini juga berarti kode etik guru Indonesia tidak hanya diucapkan, tetapi juga berkembang dalam sikap, pola tindakan dan prestasi para anggota PGRI yang makin professional